Beberapa tahun sejak reformasi 1998, dunia pendidikan di Indonesia marak dengan perubahan demi perubahan kurikulum, mulai dari KBK, KTSP, KTSP Berkarakter, K13, dan KTSP/K13 sekarang. Pada setiap sesi awal dari kegiatan sosialisasi atau pelatihan kurikulum para trainer selalu menekankan bahwa perubahan adalah sesuatu yang pasti, tetapi harus diakui bahwa itu hanya upaya "ngeles" demi menutupi kegalauan mereka sendiri.
Siapapun pasti tahu bahwa perubahan kurikulum yang sedemikian sering bukanlah hal wajar di negeri normal manapun. Perubahan-perubahan tersebut memperlihatkan adanya sesuatu yang salah dalam penentuan arah kebijakan pendidikan di negeri ini. Di antara beberapa faktor yang disinyalir memiliki andil terhadap kegagalan tersebut adalah sebagai beriku.
1. Kegagalan Grand Designing
Sebagai sebuah negara besar, Indonesia seharusnya memiliki peta jalan (road map) yang jelas dalam menentukan arah kebijakan pendidikan nasional. Faktanya, setiap pendidikan di Indonesia justeru dibuat apriori oleh ketidakjelasan arah kebijakan nasional. Tidak seorangpun di kalangan pendidikan mulai jenjang terbawah hingga perguruan tinggi yang tahu akan ada perubahan apa lagi, apa yang harus dipersiapkan, dan akan ke mana lagi dalam mengelola pendidikan di lapangan. Hal ini dikarenakan tidak ada road map yang benar-benar dapat mereka pegang sebagai peta jalan. Guru dan dosen tak ubahnya kuda penarik pedati yang hanya dapat menunggu instruksi selanjutnya. karena semua kebijakan hanyalah sementara.
2. Kurikulum Trial and Error
Perubahan kurikulum bahkan selalu dilakukan saat kebijakan kurikulum sebelumnya belum benar-benar berjalan. KBK sudah diganti KTSP saat kurikulum tersebut benar-benar terlaksana, demikian halnya dengan kurikulum berikutnya. Perubahan kurikulum semacam ini memperlihatkan betapa kebijakan kurikulum nasional selama ini masih bersifat coba-coba (trial and error).
Tidak salah kiranya bila dinyatakan bahwa warisan paling menonjol Orde Baru di dunia pendidikan yang terus dilestarikan adalah "Ganti menteri, ganti kurikulum". Setiap menteri bersama jajarannya selalu berambisi membangun "monumen sejarahnya" sendiri dengan cara mengubah kurikulum. Hal ini memperlihatkan betapa pendidikan nasional telah menjadi korban kepentingan segelintir orang, yang menjadikan perubahan kebijakan pendidikan tak ubahnya perubahan demi perubahan politik yang berlangsung cepat dan tanpa arah.
3. Konsep Bombastis
Dari segi isi atau substansi, kegagalan kurikulum baru di Indonesia sudah terlihat dari konsep kurikulum yang diusung. Kurikulum pendidikan seharusnya merupakan konsep yang realistis dan dapat dengan mudah diterapkan (applicabel). Faktanya, perubahan kurikulum selalu mengusung konsep-konsep bombastis dengan target yang terlalu melangit (baca: muluk-muluk). Hal ini terlihat dari tuntutan kompetensi yang menjangkau kompetensi spiritualitas, konsep utopis yang hanya ada di negeri ini.
Sekalipun tidak ada hal mustahil untuk diwujudkan, tetapi kurikulum adalah konsep yang harus dapat diterapkan. Banyaknya muatan kurikulum di negeri ini sepertinya luput dari perhatian para perancang kurikulum yang entah dari planet mana asalnya. Mereka sepertinya terlalu banyak mendongak ke awang-awang, dan lupa betapa negeri ini sebenarnya kaya akan khazanah pendidikan yang seharusnya diapresiasi. Akibatnya, perubahan kurikulum menjadi tidak aplikabel. Padahal konsep kurikulum seharusnya realistis, dalam arti disesuaikan dengan muatan apa yang harus diajarkan, pada siapa diajarkan dan siapa yang akan menerapkannya. Itu sebab itu wajar bila banyak guru kesulitan menerapkannya. Selain kompetensinya begitu beragam, para perancang kurikulumnya sendiri belum tentu dapat menerapkan.
4. Minus Contoh
Sebagai sebuah sistem yang aplikatif, penerapan sebuah kebijakan kurikulum seharusnya dimulai dengan membuat suatu proto type agar profil kurikulum benar-benar memiliki gambaran jelas dan konkrit. Kehadiran contoh konkrit akan memudahkan guru dan sekolah untuk melakukan proses belajar dan menyesuaikan diri, bahkan bila perlu tanpa perlu terlalu banyak forum pelatihan.
Ironisnya, semua perubahan kurikulum dilakukan dengan menyajikan konsep-konsep abstrak. Pada dasarnya, baik trainer, guru peserta pelatihan, bahkan pembuatnya sendiri tidak tahu wujud nyata dari penerapan kurikulum itu di lapangan. Pemerintah hanya menggiring guru dan sekolah ke tempat impian yang sebenarnya sama-sama tidak jelas wujud dan bentuknya.
Sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah yang menjadi percontohan tidak lebih dari sekedar "proyek kosong" karena sifatnya yang formalistis. Satuan-satuan pendidikan itu hanyalah sekolah yang secara kebetulan ditunjuk oleh pemerintah serta diberi berbagai fasilitas dan pelatihan. Faktanya di lapangan, tidak ada yang benar-benar layak dicontoh. Kecuali dalam hal administratif dan hal-hal formalistis, profil dan pola pengelolaan pembelajaran di sekolah-sekolah contoh tak jauh berbeda dari yang tanpa fasilitas itu. Bila ditanya, sekolah mana yang 100% menerapkannya dan benar-benar layak dijadikan contoh, maka menteri pendidikan sekalipun belum tentu dapat menjawabnya.
5. Kegagalan Sistem Pelatihan
Perubahan kurikulum pada dasarnya belum lebih dari sekedar "proyek" pelatihan yang memakan biaya milyaran rupiah. Keberhasilan proyek tersebut mulai dari perencanaan hingga evaluasi hanya ada di atas kertas, tetapi tidak secara signifikan mengubah keadaan di lapangan.
Apalagi para trainer pelatihan, termasuk trainer PLPG, pada umumnya hanya memahami konsep hasil pelatihan itu sendiri. Selebihnya mereka pada umumnya buta kondisi di lapangan, sebab mereka juga tidak memiliki pengalaman empirik mengelola sekolah dan pembelajaran sesuai dengan materi pelatihan yang disampaikan. Bagaimana mungkin seseorang mengajari orang lain melukis suatu obyek sementara pengajarnya sendiri tidak tahu wujudnya dengan pasti?
Penutup
Kurikulum 2013 sepertinya akan diterapkan kembali dan pemerintah mulai menebar proyek bimbingan teknis (bimtek) ke berbagai daerah. Berdasarkan catatan di atas, sepertinya hasil dari penerapan K13 tidak akan jauh dari kurikulum-kurikulum sebelumnya. Pelatihan yang hanya beberapa jam saja oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi empirik di lapangan dan peserta pelatihan yang pada dasarnya tidak terlalu membutuhkan pelatihan, adalah beberapa faktor yang menyebabkan pandangan skeptis semacam ini.
Alangkah baiknya bila penerapan suatu kurikulum difokuskan dulu pada beberapa sekolah saja hingga suatu konsep benar-benar disempurnakan kelebihan dan kekurangannya, agar setelah diterapkan tidak terjadi tambal sulam seperti selama ini. Bilamana pemerintah mampu membuat contoh yang benar-benar konkrit, bukan sekedar administratif dan formalistis seperti yang selama ini ada, maka para guru dan sekolah-sekolah lain akan dengan mudah belajar menerapkannya.