Sangat dimengerti bila tak banyak orang yang bisa percaya. Kisah perjalanan studi seperti ini sepertinya hanya ada dalam fiksi, padahal benar-benar terjadi. Aku harus berhadapan dengan dua orang yang sama sekali tak menunjukkan empati yang memudahkanku menyelesaikan studi.
Proses bimbingan pada dasarnya sederhana saja. Dosen memberikan koreksi dan arahan agar mahasiswa dapat memperbaiki karya akhirnya sesuai saran dosen, tetapi faktanya tak semudah itu. Segudang rasa kecewa, tertekan bahkan putus asa harus kulalui, sebab proses yang kualami tidak berlangsung seperti itu.
Girang sekali rasanya saat aku dinyatakan lulus dalam sekali ujian kualifikasi. Tak banyak teman-temanku yang lulus dengan sekali ujian, sebab ada yang baru lulus setelah dua, tiga bahkan empat kali ujian. Dengan langkah penuh harap, aku segera menghadap para dosen yang ditunjuk untuk membimbingku. Aku bahkan dengan penuh percaya diri mamatok penyelesaian studi dalam satu atau dua tahun ke depan. Apalagi saat itu draf penelitian sudah mulai aku tulis.
Lega rasanya setelah menghadap pembimbing utama. "Saudara kerjakan saja dulu. Nanti temui saya kalau sudah selesai", jawabnya sembari menandatangani persetujuan menjadi pembimbing. Rasa lega kembali kurasakan setelah menghadap pembimbing kedua. "Baik. Saya setuju membimbing saudara, tapi saat ini saya sedang sibuk, karena sedang ada banyak bimbingan" Jelasnya sembari menunjuk tumpukan karya akhir mahasiswa di hadapannya. "Saudara datang dua atau tiga bulan lagi".
Aku hanya mengiyakan tanpa bicara banyak, dan memilih fokus mengerjakan tugas akhir itu semampuku. Aku berusaha menghadap pembimbingku, tetapi bertemu pembimbing utamaku sangat sulit kulakukan, sebab saat itu kabarnya beliau menjadi asisten mesteri. Aku bahkan tak berhasil bertemu setelah beberapa kali menunggu di rumahnya, karena beliau sedang di luar negeri. "Maaf saya sibuk. Saudara sama pembimbing dua saja. Kalau beliau setuju, saya juga setuju" Jawabnya saat aku berhasil bertemu.
Akupun mencoba menghadap pembimbing kedua, dan berhasil. "Jangan sekarang. Saya masih ada banyak bimbingan. Coba dua atau tiga bulan lagi. Atau begini saja, saudara bimbingan sama pembimbing utama saja. Saya percaya beliau. Kalau beliau setuju saya juga setuju"
Bingung. Aku tak tahu harus menghadap siapa. Aku kembali menghadap pembimbing utama. Beberapa bulan aku berusaha menghadap pembimbing pertama, tetapi tidak pernah berhasil. Karena kuatir terlalu lama menunggu aku mengajukan pengganti pembimbing utama, dengan harapan lebih mudah menyelesaikan studiku, dan disetujui dengan mengangkat pembimbing kedua sebagai pembimbing pertama.
Setelah beberapa bulan menghadap, jawaban pembimbing utama pengganti tetap sama. "Coba dua atau tiga bulan lagi" Jawabnya dengan alasan sibuk. Aku sempat mengeluhkan hambatan ini pada kampus, tetapi tak diijinkan kembali ganti pembimbing. Lelah berurusan dengan pembimbing membuat aku enggan menyentuh karya akhirku hingga dua tahun lamanya.